Pelaminan Minang

Archive for April 2011

Sejumlah peneliti, Jumat (15/4), melakukan pendokumentasian pada bekas-bekas peninggalan Kerajaan Adityawarman di Jorong Bukit Gombak, Nagari Baringin, Kecamatan Limo Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Para peneliti dari Jerman, Australia, dan Indonesia itu menemukan peninggalan seperti perhiasan, keramik, sumur kuno, dan sisa-sisa struktur bangunan dalam ekskavasi itu.

Para peneliti dari Jerman, Australia, dan Indonesia yang tergabung dalam tim ekskavasi arkeologis untuk menemukan lokasi pusat Kerajaan Adityawarman berhasil mengumpulkan sejumlah temuan signifikan, terkait sisa-sisa kejayaan Adityawarman di Tanah Datar, Sumatera Barat.

Ekskavasi di Jorong Bukit Gombak, Nagari Baringin, Kecamatan Limo Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, yang berakhir pada Jumat (15/4) itu, menemukan sejumlah peninggalan seperti perhiasan, keramik, sumur kuno, dan sisa-sisa struktur bangunan.

Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan BP3 Batusangkar Budi Istiawan mengatakan, sosok Adityawarman yang bisa disejajarkan dengan Mahapatih Gadjah Mada dalam membangun Kerajaan Majapahit, diketahui menjadi raja di daratan Sumatera antara tahun 1347-1375. Hal itu didasarkan pada patung Amoghapasa tahun 1347 dan Prasasti Saroaso 1 di Tanah Datar tahun 1375.

Salah satu temuan yang cukup mengesankan dalam ekskavasi yang dibiayai Pemerintah Jerman itu, sebuah sumur dalam lanskap mirip tempat pemandian. Pada sumur yang masih digenangi air lewat aliran air dari sela-sela dinding bebatuan di atasnya itu, dimungkinkan pula terdapat kolam kuno untuk pemandian yang belum diekskavasi.

”Mungkin tahun depan akan kami ekskavasi lagi,” kata Ketua Tim Proyek Ekskavasi Arkeologi Tanah Datar 2011, Prof Dr Dominik Bonatz. Ia butuh sekitar dua pekan untuk menemukan keseluruhan struktur sumur dan bebatuan yang diduga sebagai lokasi pemandian itu.

Temuan lain yang juga memberi makna adalah dua buah mata kapak genggam dari batu dengan ujung diruncingkan. Ditemukan pula perhiasan manik-manik dari kaca beragam warna, serta tutup wadah berbahan perunggu.

Salah seorang peneliti, Dr Mai Lin Tjoa-Bonatz, ketika menunjukkan tutup wadah berbahan perunggu yang tampak menghitam itu terlihat sangat terkesan akan dekorasi yang menghiasinya.

”Ini sudah terlihat ada dekorasinya, mengagumkan,” kata Mai sembari menunjukkan artefak berukuran 5 cm itu.

Menurut Dominik, tutup wadah berbahan perunggu itu kemungkinan dipergunakan sebagai pasangan wadah penyimpan sirih atau semacamnya.

Kedatangan keramik asal China pada masa Dinasti Song dan Dinasti Ming juga tak luput menjadi temuan. menurut Dominik berasal dari masa Dinasti Song dan Dinasti Ming. ”Mungkin datang sekitar abad ke-14, bertepatan masa Kerajaan Adityawarman,” kata Dominik.

Tim yang terdiri dari perwakilan Freie Universitat Berlin, Puslitbang Arkenas, Balai Arkeologi Bandung, Balai Arkeologi Medan, dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, itu juga menemukan sejumlah bekas lubang (postholes).

Patrick McCartney, arkeolog dari Australia mengaku amat terkesan dengan kegiatan ekskavasi ini. ”Melelahkan tetapi juga menyenangkan. Luar biasa, kami bisa melihat langsung Gunung Marapi,” kata Patrick McCartney, arkeolog dari Australia sembari menunjuk ke arah utara.

Ekskavasi itu terutama dilakukan pada dua wilayah perbukitan, yakni Bukit Kincir dan Bukit Damar di Jorong Bukit Gombak, pada ketinggian sekitar 450 meter di atas permukaan laut.

Ekskavasi dilakukan dengan sistem penggalian parit (trench) berjumlah 11 buah dengan ukuran 2 x 3 meter – 10 x 10 meter. Ekskavasi itu lebih memilih metode layer ketimbang spit atau lot. ”Agar bisa mencari dengan lebih detail,” kata Johannes Greger, peneliti lainnya

Almarhum Rosihan Anwar selain dikenal sebagai penulis juga penemu dan pengusung kosa kata baru. Kata “gengsi” adalah salah satu kata yang ditemukannya.

Rosihan menerapkan kata “gengsi” untuk menggantikan kata prestige dalam bahasa Inggris. Ia menggunakan kata itu pada 1949 ketika terjadi Agresi Militer Belanda I. Ia menulis di majalah Siasat mengenai keengganan Belanda melakukan perundingan dengan Indonesia cenderung lebih disebabkan prestige.

Ia menggantikan kata “prestige” itu dengan “gengsi”. Kata Gengsi itu sendiri ia adopsi dari perbendaharaan bahasa remaja di Minangkabau.

Selain itu, Rosihan juga dikenal sebagi pengusung dan pendukung kosa kata baru yang lebih menunjukkan Indonesia. Misalnya, ia menggunakan kata “Anda” untuk kata ganti orang ke dua. Rosihan adalah orang yang pertama kali menggunakan kata “Anda” dalam penulisan.

Ia menulis kata itu di harian Pedoman pada 28 Februari 1957. Kata “Anda” itu sendiri muncul pertama kali dalam kamus Bahasa Indonesia Modern karangan Sutan Mohamad Zain.

Keteguhannya untuk menggunakan kata berbahasa Indonesia dan upayanya menemukan kosa kata baru ini sangat diapresiasi oleh banyak kalangan. Bahkan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo memiliki kesan tersendiri dengan hal itu.

Saat melayat almarhum di rumah duka di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2011), Fauzi Bowo menyatakan sangat terkesan dengan upaya itu. “Beliau banyak sekali pemikirannya soal bahasa. Beliau banyak menemukan kosa kata baru yang sekarang menjadi bagian bahasa Indonesia baku, misalnya Anda dan dalam rangka,” ujar Fauzi mengenang.

Masih teringat pada Maret tahun lalu Kompas berbincang dengan wartawan senior Rosihan Anwar di rumahnya yang nyaman di Jalan Surabaya, Jakarta. Saat itu ia mengaku mulai sakit-sakitan. Namun, siapa menduga, Kamis (14/4) pukul 08.15 di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center, Jakarta, tokoh pers nasional itu akhirnya berpulang….

Masih teringat pula kalimatnya, ”Saya ini wartawan spesialis menulis obituari teman-teman saya yang meninggal dunia, ha-ha-ha….”

Kini, kami menulis obituari tentang ”penulis obituari” itu. Tanggal 10 Mei mendatang ia akan genap berusia 89 tahun.

Pada minggu kedua Maret 2011 Rosihan mulai dirawat di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, karena penyakit jantung. Pada 24 Maret 2011 Rosihan menjalani operasi bypass. Keadaannya sempat membaik dan diperbolehkan pulang pada 13 April 2011. ”Tetapi, hanya semalam di rumah. Keesokan hari, Kamis, 14 April pukul 07.30, Bapak kembali anfal dan kami bawa ke RS MMC, tetapi tak tertolong,” kata anak kedua Rosihan, Omar Luthfi Anwar.

Rosihan berpulang menyusul istrinya, Zuraidah Sanawi, yang meninggal pada 5 September 2010. Ia meninggalkan tiga anak—dr Aida Fathya Anwar (61), Omar Luthfi Anwar (59), dan dr Naila Karima Anwar (57)—enam cucu, dan dua cicit. Kamis sore, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara militer.

Saat disemayamkan, rumah duka dipenuhi pelayat yang merasa kehilangan. Mereka berasal dari lintas kalangan: keluarga, sahabat, pejabat, tokoh politik, tokoh pers, serta tokoh budaya dan keagamaan.

Selain sejumlah menteri dan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, datang pula Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta Ny Ani Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Tokoh pers yang tampak melayat, antara lain, Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, Pemimpin Trans Corp Ishadi SK, serta pemilik dan pendiri Jawa Pos Grup, Dahlan Iskan. Ada pula politisi, seperti Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.

Di mata para tokoh, Rosihan adalah wartawan, pelaku dan pencatat sejarah, pejuang kemerdekaan, serta pemikir yang terus aktif menyumbangkan gagasan kritis hingga akhir hayatnya. Dengan menekuni profesi sebagai wartawan, ia ikut membangun dan memberikan sumbangan besar bagi negeri ini.

”Enam zaman”

Menurut Taufik Abdullah, sejarawan, julukan wartawan ”enam zaman” patut dilekatkan pada sosok almarhum. Rosihan muda mulai mengembangkan diri menjadi wartawan sejak zaman Jepang (1942-1945), lalu zaman Revolusi Kemerdekaan (1945-1950), masa Demokrasi Liberal (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Orde Baru (1966-1998), hingga masa Reformasi (1999-sekarang).

Ia menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Pedoman (1948-1961 dan 1968-1974) yang pernah diberedel tiga kali. Pertama, Pedoman diberedel Pemerintah Belanda pada 29 November 1948, lalu diberedel Pemerintah Orde Lama pada 7 Januari 1961. Setelah terbit lagi pada masa Orde Baru, koran itu diberedel lagi oleh Soeharto pada 18 Januari 1974.

Ia kemudian menjadi penulis lepas di berbagai media, tak hanya dalam negeri, tetapi juga media asing, seperti Asia Week (Hongkong), The Straits Time (Singapura), New Straits Time (Malaysia), The Hindustan Times (India), Het Vriye Volk (Belanda), dan The Melbourne Age (Australia).

Meski tak berpendidikan formal sejarah, Rosihan memberikan sumbangan penting bagi sejarah. Dia menjadi saksi dan pelaku sejarah sejak zaman Jepang hingga kini. Semua dituliskannya, seperti dalam buku Sejarah Kecil (empat jilid). Dia penulis yang mengenal banyak tokoh. ”Tulisannya memberi sumbangan luar biasa bagi bangsa ini,” kata Taufik Abdullah.

Menurut Jakob Oetama, Rosihan adalah tipe wartawan idealis yang menempatkan kerja jurnalistik sebagai panggilan hidup. Dengan itu, dia mengembangkan diri dan memberikan kontribusi pada kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat. Sebagai wartawan, ia selalu memihak kepentingan umum.

”Saya berguru pada beliau. Beliau suka membaca, ingatannya tajam, dan independen. Beliau penulis yang lancar sekali, bahkan punya kecenderungan sebagai sastrawan dengan bahasa bergaya indah dan kaya ungkapan,” papar Jakob Oetama.

Wartawan senior August Parengkuan mengisahkan, pada saat terakhir bertemu, Rosihan menyatakan ingin dikenang sebagai guru para wartawan.

Seorang tokoh pers di Sumatera Barat, Marthias Dusky Pandoe, mengatakan, Rosihan adalah tokoh pers yang layak dianugerahi gelar pahlawan nasional. ”Ia tidak ada cacatnya. Ia sosok yang tidak gampang dibeli dan selalu berpegang pada kode etik. Ia guru,” ujarnya.

Rosihan juga wartawan yang produktif menulis hingga akhir hayatnya. Sebelum meninggal, dia menyiapkan satu buku berjudul Belahan Jiwa: Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar dan Zuraidah Sanawi. Ini buku tentang istrinya. ”Kami akan menerbitkannya,” kata Jakob Oetama yang menjadi Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) saat Rosihan menjadi Ketua Umum PWI.

Ketua Umum PWI Margiono menyatakan, Rosihan adalah teladan, wartawan yang idealis, independen, dan produktif.

Wapres yang tiba di rumah duka sekitar pukul 13.00 mengakui, Rosihan adalah saksi sejarah Indonesia. Rosihan banyak membuat karya untuk mendokumentasikan sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Presiden Yudhoyono mengakui pula, Rosihan adalah wartawan yang kritis, tetapi bertanggung jawab. Rosihan juga dipuji sebagai tokoh segala bidang, mulai dari film, sastra, hingga pers. ”Kita kehilangan salah satu tokoh besar, tokoh segala zaman,” katanya.

Presiden melanjutkan, ”Beliau beberapa kali juga kritis terhadap saya, tetapi kami bersahabat.”

Rosihan Anwar, wartawan super-senior Indonesia, meninggal mendadak pada Kamis pagi, 14 April 2011, di Rumah Sakit MMC Jakarta. Tanggal 10 Mei nanti dia akan merayakan ulang tahunnya ke-89.

Meskipun pernah secara guyon saya ucapkan ketika merayakan ulang tahunnya ke-88, 10 Mei 2010, di Hotel Santika Jakarta: ” Old journalists never die, they keep on writing …”—kita tentunya sadar bahwa umur manusia ada batasnya.

Setelah operasi jantung yang dijalani Bung Rosihan di Rumah Sakit Harapan Kita tanggal 24 Maret lalu, ia secara perlahan berangsur pulih. Hampir setiap hari saya jenguk dia. ”Bagaimana Bung, kata pengantarmu telah selesai?”

Beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, Bung Rosihan sempat menyelesaikan naskah yang dia sudah janjikan: menceritakan kisah percintaannya dengan Zuraida Sanawi—istrinya tercinta— ketika tahun-tahun revolusi (1945-1949) dan pernikahan mereka selama berpuluh tahun mengatasi berbagai kesulitan, antara lain diberedelnya koran Pedoman pada tahun 1961 dan untuk selamanya pada 1974.

”Belahan Jiwa”

Pusing juga memikirkan pendekatan apa dan bagaimana yang perlu diterapkan sehingga sambutan saya (untuk buku tersebut) agar tidak sekadar bernada sentimental. Begitu banyak cerita percintaan diterbitkan dalam berbagai bentuk.

Apa yang khas tentang percintaan antara pemuda Rosihan Anwar dan pemudi Zuraida sejak mereka berkenalan pada tahun 1943, ketika mereka sama-sama bekerja di koran Asia Raya di Jakarta? Yang khas adalah setting -nya bahwa hubungan mereka mekar ketika memuncaknya revolusi Indonesia, dan kemudian menikah di Yogyakarta, ibu kota perjuangan, pada 1947. Ida mengungsi di Yogya sebagai penyiar siaran bahasa Inggris, The Voice of Free Indonesia , karena nada suaranya menarik dan paham bahasa Inggris.

Rosihan Anwar di Jakarta sebagai wartawan harian Merdeka . Setiap malam ia setel gelombang radio mendengar siaran dari Yogyakarta dan mendengar suara kekasihnya Zuraida: ”This is the Voice of Free Indonesia.” Adakah cerita yang menandingi tingkat romantika sekaligus bersifat politis seperti cerita Rosihan-Zuraida itu?

Karena itu, dalam kata sambutan pada buku Belahan Jiwa yang akan diterbitkan oleh penerbit Kompas-Gramedia, saya membandingkannya dengan karya besar Boris Pasternak, Doctor Zhivago , suatu cerita cinta kasih penuh derita dalam setting revolusi Rusia yang jauh lebih dahsyat dan lebih mengerikan dibandingkan dengan revolusi Indonesia.

Adalah manusiawi kalau para sahabat Rosihan Anwar mengharapkan bahwa dia masih sempat merayakan ulang tahunnya ke-89 dan masih sempat hadir dalam peluncuran buku Belahan Jiwa . Pasti dia akan puas dan bangga. Bagaimanakah kita akan mengenang Rosihan Anwar, wartawan super-senior Indonesia ini, yang sampai minggu-minggu terakhir hidupnya masih tetap produktif?

Pertama-tama, agaknya sulit dicari sosok wartawan/redaktur yang memiliki pendidikan yang cocok (sebagai siswa sekolah menengah atas berbahasa Belanda sebelum Jepang menduduki Jawa pada 1942, ia menguasai bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis), memori yang kuat, daya pantau yang tajam, pandangan yang kritis mendekati sarkastis, dan kemahiran menulis secara cepat, gaya sederhana dalam bahasa Indonesia yang serba rapi.

Fikri Jufri yang bertahun-tahun jadi pemimpin redaksi mingguan berita Tempo, tahun 1967, pernah bekerja di harian Pedoman dengan Rosihan Anwar sebagai pemimpin redaksi. Ia masih ingat betapa Bung Rosihan, setelah agak termenung, menulis tajuk rencana secara nonstop kira-kira dalam 20 menit dengan penutup yang kena sasaran.

Sumber inspirasi

Aspek-aspek apa lagi dari profil Rosihan Anwar yang ingin saya lihat diwarisi generasi muda wartawan Indonesia?

Persatuan Wartawan Indonesia, sebagai keputusan Hari Pers Nasional di Palembang pada 9 Februari 2010, memutuskan untuk menyelenggarakan program singkat kewartawanan di berbagai ibu kota provinsi guna menanggapi keluhan mengenai rendahnya kualitas jurnalistik Indonesia. Saya diminta sebagai pengajar mata pelajaran Hubungan Media dan Pemerintah. Setengah jam terakhir dari alokasi waktu dua kali dua jam, saya sisihkan bicara tentang profil Rosihan Anwar.

Biografi singkat yang telah dipersiapkan dibagi-bagikan. Kemudian saya tekankan aspek-aspek dari profilnya yang perlu diteladani para wartawan muda: cermat mengikuti peristiwa, rekam tanpa emosi berlebihan, jangan kacaukan fakta dan tulis dalam gaya bahasa yang rapi dan padat. ”Dan, kalau kalian memang mau tetap menekuni bidang jurnalistik ini sampai hari tuamu, tetaplah menulis.”

Sekolah Jurnalisme Indonesia dengan program padat selama dua minggu telah diselenggarakan di Palembang (tiga angkatan), Semarang, Bandung, dan Samarinda. Tiap kali saya sajikan profil Rosihan Anwar supaya moga-moga dia jadi panutan dan sumber inspirasi.

Kesetiaan pada profesi kewartawanan dan ketekunan menulis adalah warisan berharga yang ditinggalkan almarhum Rosihan Anwar. Kita yang beruntung sempat mengenalnya wajib meneruskannya kepada generasi muda wartawan Indonesia.

Terima kasih Bung RA atas jasa Anda.

Sabam Siagian Redaktur Senior Harian The Jakarta Post

Kabar duka datang, Kamis (14/4/2011) pagi. Penulis dan wartawan senior H Rosihan Anwar (89) meninggal dunia setelah sempat dirawat lebih dari sebulan di Rumah Sakit MMC Kuningan, Jakarta Selatan.

“Innalillahi WIR : Wartawan senior Rosihan Anwar meninggal dunia pagi ini jam 08.15 WIB di MMC dalam usia 89 tahun,” demikian pesan singkat yang diterima redaksi Kompas.com.

Seperti diberitakan sebelumnya, Rosihan Anwar masuk ruang gawat darurat (ICU) Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC) Jakarta, sejak Senin (7/3/2011). Ia dirawat karena gangguan serangan jantung.

Rosihan Anwar selama ini dikenal sebagai wartawan lima zaman. Ia telah menjadi penulis sejak zaman penjajahan Belanda sampai sekarang. Di usia senja, ia masih aktif mengirimkan tulisan ke media massa dan menulis buku. Buku terakhir yang ditulisnya adalah Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia Jilid IV (Penerbit Buku Kompas, November 2010). Ia kini juga sedang menyiapkan memoar kehidupan cintanya dengan sang istri dengan judul yang sudah disiapkan Belahan Jiwa, Memoar Rosihan Anwar dengan Siti Zuraida.

Dengan ini kami mengucapkan belasungkawa.

Penulis dan wartawan senior H Rosihan Anwar (89) dikabarkan masuk ruang gawat darurat (ICU) Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC) Jakarta, Senin (7/3/2011). Informasi tersebut diperoleh Kompas.com petang tadi melalui SMS.

”Wartawan kawakan Bapak H Rosihan Anwar (89) sore ini dirawat di ruang ICU RS MMC Jakarta karena gangguan serangan jantung, Mari kita doakan bersama untuk kesembuhannya,” demikian informasi tersebut.

Setelah Kompas.com mengecek ke RS MMC, dipastikan bahwa Rosihan Anwar masuk ke ruang ICU sejak pukul 18.00. Belum diketahui kondisi terakhir kesehatannya karena masih dalam perawatan intensif dan penanganan dokter.

Rosihan Anwar selama ini dikenal sebagai wartawan lima zaman. Ia telah menjadi penulis sejak zaman penjajahan Belanda sampai sekarang. Di usia senja, ia masih aktif mengirimkan tulisan ke media massa dan menulis buku. Buku terakhir yang ditulisnya adalah Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia Jilid IV (Penerbit Buku Kompas, November 2010). Ia kini juga sedang menyiapkan memoar kehidupan cintanya dengan sang istri dengan judul yang sudah disiapkan Belahan Jiwa, Memoar Rosihan Anwar dengan Siti Zuraida.

Lima orang pandai besi berusia di atas 40-an tahun berpeluh pada salah satu bengkel kerja yang tersisa di Jorong Limo Suku, Nagari Sungai Pua, Kecamatan Sungai Pua, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Kamis (7/4). Pada bengkel kerja pandai besi yang sesungguhnya dapat menampung hingga 10 pekerja itu terdapat sejumlah mesin yang teronggok terdiam begitu saja tanpa suara.

Hanya bunyi beberapa unit gerinda yang memekakkan telinga memecah kesunyian jorong tersebut pada terik siang yang sepi. Bengkel kerja pandai besi itu Dua Saudara namanya. Bengkel dikelola sepasang saudara, Suharman (42) dan Zulfan (50), yang siang itu ikut bekerja bersama Usen (49), Iwan (55) yang terhitung masih sekeluarga dan Ali Unir (56) yang bukan anggota keluarga Suharman.

”Awas kena percikan api,” kata Iwan sembari mengubah posisi badannya sebelum mulai menggerinda sebilah golok. Zulfan dan Usen mengambil posisi sama pada alat gerinda yang berbeda, sementara Ali Unir memilih rehat sejenak di luar bengkel sembari memandangi jalanan yang melompong.

Setiap hari mereka bekerja mulai pukul 07.30 hingga pukul 17.00, diselingi waktu istirahat antara pukul 12.00-13.00 untuk mengejar target pesanan rupa-rupa alat ataupun suku cadang berbahan logam. ”Dulu jorong ini ramai. Bunyi tang-teng- tong di mana-mana dan membuat semangat. Sekarang kalau mesin gerinda di bengkel ini mati, jorong ini sepi seperti tidak ada kehidupan,” kata Suharman sembari menirukan bunyi logam yang beradu.

Ia mengatakan, lebih dari seratus buah bengkel kerja yang bisa membuat beragam alat pertanian, alat perkebunan, suku cadang industri, mesin cetak, dan aneka produk logam lainnya masih eksis dan aktif berproduksi hingga sekitar sepuluh tahun lalu. Kini, hanya sekitar 30 buah bengkel kerja saja yang masih berproduksi.

Untuk bengkel yang masih bertahan pun harus mengurangi tenaga kerja. Hingga sepuluh tahun lalu, Suharman masih mempekerjakan hingga 10 orang dan kini terpaksa dikurangi menjadi tiga orang saja, tidak termasuk dirinya dan Zulfan.

Omzet mingguannya juga melorot drastis, dari Rp 20 juta per pekan pada masa sepuluh tahun lalu menjadi hanya Rp 10 juta per minggu saat sekarang. ”Padahal, itu tanpa hitung-hitungan inflasi dan sebagainya,” kata Suharman.

Kurangnya regenerasi tenaga kerja yang dipicu makin kurangnya pesanan akibat didesak produk serupa buatan China membuat banyak pandai besi mundur teratur. Sebagian memilih beralih ke bidang usaha konfeksi, sementara generasi mudanya merantau.

”Regenerasi pandai besi di jorong ini tidak ada lagi, pandai besi sekarang rata-rata berusia di atas 40 tahun semua,” kata Suharman. Ia mencontohkan, saat ini saja belasan kemenakannya tidak ada satu pun yang tinggal di nagari itu, tetapi memilih merantau ke sejumlah daerah.

Sementara mengenai produk buatan China, ia mencontohkan sebuah cangkul produksi bengkelnya yang seharga Rp 30.000, sementara produk serupa buatan China hanya ditawarkan Rp 20.000 per unit. Ia menambahkan, BUMN yang bergerak di bidang industri semen dan dahulu memercayakan sejumlah suku cadang mesin pada produk dari bengkelnya juga mulai beralih pada produk-produk China.

Adapun soal ketersediaan bahan baku, pandai besi di nagari itu tidak bisa mendapatkannya langsung dari pabrik baja, melainkan harus lewat beberapa agen sehingga harganya jadi berlipat dan membuat produk mereka semakin sulit bersaing di pasaran. ”Sekarang ini saya hanya sebatas menjalin hubungan dengan pelanggan-pelanggan lama,” kata Suharman.

Wali Nagari Sungai Pua, Feri Adrianto, mengatakan, mahalnya bahan baku dan teknologi yang terbatas menjadi sebab lain mundurnya industri logam di nagari yang beroleh penghargaan sebagai nagari terbaik pada 2009 itu.